ENAKNYA MENJADI GURU DI INDONESIA
Sebuah catatan otokritik
Heriyanto Nurcahyo
Apa ya enaknya menjadi guru di Indonesia?Adalah satu diantara sekian pertanyaan yang sering menggoda pikiranku.Pertanyaan ini muncul bersamaan dengan jatuhnya keputusanku menjadi pendidik. HIngga saat inipun masih belum sepenuhnya kutemukan jawabannya. Bukan berarti keputusan menjadi pendidik tidak memberikanku “keuntungan-keuntungan”. Justru,melalui profesi ini kutemukan begitu banyak keberlimpahan hidup.Secara psikologis,pilihan profesi ini telah mampu membunuh diriku dari pseudo-pseudo keintiman keduniawian.Ianya juga memberi ruang yang begitu luas untuk menjadi ihklas,sabar dan tentunya panutan kebaikan dan kebajikan bagi sang anak didik . Menjadi pendidikpun mendorongku lebih kreatif dan inovatif.Setiap harinya bergaul dengan benda hidup yang hitrogen dan “aneh-aneh”.Kadang teriakannya memekakkan telinga dan membakar emosi.Kadang juga nyanyian dan senandungnya menggunjangkan kesadaran nurani kita.keanehan –keanehan itulah yang semakin menjadikanku lebih hidup.Begitu indahnya menjadi pendidik itu ternyata ya?.
Dan secara materi (financial),Profesi ini mampu mengangkatku ketaraf kemakmuran yang lebih baik. Memungkinkanku membeli motor, HP baru, rumah bahkan mobil sekalipun.Kesejahteraan yang diberikan Pemerintah sudah lebih dari cukup bahkan berlimpah.Tunjangan profesi pendidik,beras,anak dan seabrek tunjangan lainnya.Namun,pertanyaanku lagi,apa ya enaknya menjadi guru di Indonesia?. Mungkin saja ceritaku berikut ini bisa menjawabnya.Ada dua kegiatan yang paling aku sukai selama kuliah di Jepang.Pertama, berdikusi dengan guru-guru Jepang dan ALT (American language Teacher) tiap sebulan sekali.Acara ini dikomandani oleh pembimbing akademik saya:Prof.Nobuyuki takaki.Di acara ini kami bisa curah gagasan dan berbagi pengalaman mengajar dengan guru-guru sekolah menengah dan atas Jepang.Saya lebih senang dan tepat menyebut kegiatan ini sebagai Micro Teaching.Karena guru-guru itu selalu mempraktekkan cara mengajar mereka dengan pendekatan pembelajaran yang baru dan selalu kaya inovasi..Saya kemudian sering termenung dan berandai-andai sepulang mengikuti acara ini. Salah satunya adalah pengandaian saya atas MGMP.Andai saja MGMP diformat semacam ini,betapa bagusnya pengembangan profesi guru kita nantinya.
Kedua,diskusi Reboan. Saya namakan diskusi ini Reboan mengingat acaranya selalu diadakan pada hari Rabo. Di dalam diskusi ini saya selalu dipertemukan empat mata dengan guru-guru jepang oleh sahabat saya :Tanaka san.Dia mahasiswa master course di Graduates School of Education Kumamoto University Jepang. Dalam diskusi ini kami biasanya saling berbagi dan melakukan komparasi sederhana tentang system dan kurikulum di kedua Negara. Diskusi kami bisa menjalar kemana-mana bahkan sampai lupa waktu:karena asyiknya loh. Dan untuk minggu ini,saya berkesempatan berdiskusi dengan Fumiko Yoshimori,seorang guru di sebuah SMP negeri di Kumamoto. Dia memiliki pengalaman yang cukup lumayan:10 tahun.Dan kebetulan sekali,dia saat ini sedang mengambil S2 tahun terakhirnya.
Saya bertanya padanya bagaimana guru-guru jepang bekerja.Apakah sama dengan guru-guru di Indonesia?apakah kinerjanya sama dengan kita-kita ini di Indonesia.Apakah bisa seenaknya meninggalkan sekolah saat jam belajar untuk berbelanja dan nongkrong di warung kopi?.Apakah bisa ini bisa itu,apakah,apakah,kemudian megapa,kok bisa begitu.Terus saja ia saya cecar dengan pertanyaan-pertanyaan bak bombardir tentara NATO atas Libya.Karena saya harus memuaskan keingintahuan saya atas diri mereka (guru) Jepang.Saya menjadi bak penari jaranan yang kesurupan,mulut terus meluncurkan pertanyaan laksana angin yang keluar dari ban bocor:juuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuus.
Setelah kuhentikan pertanyaanku,barulah ia mulai bercerita. Aku dengarkan dengan penuh hikmah.Kehikmatannya sama dengan saat aku mendengar penghulu nikah membacakan ijab qobul. Kuamati dan kucernah penjelasannya,kadang tangan ini dengan reflek yang cepat menyalinnya menjadi catatan-catatan di buku diari kecilku.yang kelak menjadi referensi yang sangat berharga dalam membunuh diriku dari kebodohanku selama ini.Sorot matanya kadang redup di tengah cerita-cerita tentang sosok guru jepang.Kadang wajahnya menjadi memerah penuh semangat tatkala harapannya menjadi lentera penerang jepang menyembul dari lubuk hatinya.Pekerjaan mulia yang sungguh telah ia laksanakan untuk memegang amanah mulia:menjadikan kita tahu.
Aku baruh ngeh jika sejatinya menjadi guru itu seharusnyalah seperti saudara kita di Jepang ini.Yang menggeluti profesi itu bak bermain dengan hobi-hobi kita. Yang menghabiskan waktu bersama pencerahan-pencerahan terhadap kebodohan dan kemiskinan intelektual.Totalitas dalam mengabdi pada ibadah dunia.Kadang terlintas juga guratan keletihan diwajah dan jiwa mereka,namun itu tidaklah menjadi alasan bagi mereka untuk mengendurkan otot-otot produktifitas dan kinerja mereka. Karena bagi mereka totalitas pengabdian itu adalah hiburan bagi keletihan hati dan jiwanya.
Kalau di Indonesia,setelah jam belajar habis,maka kita bisa pulang dan bersantai di rumah.Bahkan tidak jarang,selepas sekolah kita memiliki kerja sampingan:bisnis,kursus dan lainnya.Namun berbeda dengan saudara kita di Jepang,mereka harus menemani sang murid di club-club belajar yang ada di sekolah mereka sampai jam 5 sore. Setelahnya mereka kembali lagi ke sekolah menyiapkan RPP untuk hari esoknya.Hingga selesai.
Lagi-lagi saya menjadi malu pada mereka,gaji yang cukup besar tidak serta merta menjadikan kita lebih bersemangat dan giat memberikan pelayanan yang berkualitas,justru sebaliknya:menjadikan kita semakin tidak produktif.Lihatlah survey yang dilakukan Kemdiknas atas guru –guru yang bersertfikasi.Peningkatan kesejahteraan itu berbanding terbalik dengan kualitas layanan yang mereka berikan pada anak didik.Mengapa ya?jawabannya cukup sederhana,karena itulah enaknya menjadi guru di Indonesia!Tidak harus menyiapkan RPP, toh sudah ada yang menjualnya,Ga usah bingung-bingung mikirin kurikulum,toh sudah ada yang mengembangkannya,Ga usah berfikir bekerja dengan ikhlas, toh semuanya sekarang diukur dari materi atau untung rugi. Ga usah terlalu pusing dengan kualitas diri,toh sertifikasi telah menjadikan bukti bahwa tidak berkualitas itu tetap berharga sama dengan mereka yang berkualitas.ah,kalau demikian adanya,maka bersiap-siaplah kita menyongsong kematian sekolah. Itulah akhir dari sekolah:’The End Of Schooling’. Jangan kuatir, karena tulisan ini saya tujukan pada diri saya sendiri,agar saya cepat tersadar dari kemapanan-kemapanan yang hadir selama ini. Dan saya masih begitu yakin,masih banyak guru-guru yang bekerja laksana mentari,dan mereka adalah bagian penting negeri ini yang kadang terlupakan.Bahkan saking dianggap tidak berharganya merkea,kadang mereka tidak memperdulikan lagi besaran gaji yang ia terima,karena baginya adalah ibadah yang mendapat balasan dari rejeki Allah langsung. Betapa mulianya mereka,dan betapa hinanya diri ini yang berlimpah namun tidak seikhlas mereka. Semoga perjalananku ini bisa menghidupkan lentera dalam hati untuk terus mewakafkan diri pada pendidikan yang lebih baik. Ayo bangkit,ganbatte kudasai.
Sumber : http://theguru216.wordpress.com/2012/01/20/enaknya-menjadi-guru-di-indonesia/
Heriyanto Nurcahyo
Apa ya enaknya menjadi guru di Indonesia?Adalah satu diantara sekian pertanyaan yang sering menggoda pikiranku.Pertanyaan ini muncul bersamaan dengan jatuhnya keputusanku menjadi pendidik. HIngga saat inipun masih belum sepenuhnya kutemukan jawabannya. Bukan berarti keputusan menjadi pendidik tidak memberikanku “keuntungan-keuntungan”. Justru,melalui profesi ini kutemukan begitu banyak keberlimpahan hidup.Secara psikologis,pilihan profesi ini telah mampu membunuh diriku dari pseudo-pseudo keintiman keduniawian.Ianya juga memberi ruang yang begitu luas untuk menjadi ihklas,sabar dan tentunya panutan kebaikan dan kebajikan bagi sang anak didik . Menjadi pendidikpun mendorongku lebih kreatif dan inovatif.Setiap harinya bergaul dengan benda hidup yang hitrogen dan “aneh-aneh”.Kadang teriakannya memekakkan telinga dan membakar emosi.Kadang juga nyanyian dan senandungnya menggunjangkan kesadaran nurani kita.keanehan –keanehan itulah yang semakin menjadikanku lebih hidup.Begitu indahnya menjadi pendidik itu ternyata ya?.
Dan secara materi (financial),Profesi ini mampu mengangkatku ketaraf kemakmuran yang lebih baik. Memungkinkanku membeli motor, HP baru, rumah bahkan mobil sekalipun.Kesejahteraan yang diberikan Pemerintah sudah lebih dari cukup bahkan berlimpah.Tunjangan profesi pendidik,beras,anak dan seabrek tunjangan lainnya.Namun,pertanyaanku lagi,apa ya enaknya menjadi guru di Indonesia?. Mungkin saja ceritaku berikut ini bisa menjawabnya.Ada dua kegiatan yang paling aku sukai selama kuliah di Jepang.Pertama, berdikusi dengan guru-guru Jepang dan ALT (American language Teacher) tiap sebulan sekali.Acara ini dikomandani oleh pembimbing akademik saya:Prof.Nobuyuki takaki.Di acara ini kami bisa curah gagasan dan berbagi pengalaman mengajar dengan guru-guru sekolah menengah dan atas Jepang.Saya lebih senang dan tepat menyebut kegiatan ini sebagai Micro Teaching.Karena guru-guru itu selalu mempraktekkan cara mengajar mereka dengan pendekatan pembelajaran yang baru dan selalu kaya inovasi..Saya kemudian sering termenung dan berandai-andai sepulang mengikuti acara ini. Salah satunya adalah pengandaian saya atas MGMP.Andai saja MGMP diformat semacam ini,betapa bagusnya pengembangan profesi guru kita nantinya.
Kedua,diskusi Reboan. Saya namakan diskusi ini Reboan mengingat acaranya selalu diadakan pada hari Rabo. Di dalam diskusi ini saya selalu dipertemukan empat mata dengan guru-guru jepang oleh sahabat saya :Tanaka san.Dia mahasiswa master course di Graduates School of Education Kumamoto University Jepang. Dalam diskusi ini kami biasanya saling berbagi dan melakukan komparasi sederhana tentang system dan kurikulum di kedua Negara. Diskusi kami bisa menjalar kemana-mana bahkan sampai lupa waktu:karena asyiknya loh. Dan untuk minggu ini,saya berkesempatan berdiskusi dengan Fumiko Yoshimori,seorang guru di sebuah SMP negeri di Kumamoto. Dia memiliki pengalaman yang cukup lumayan:10 tahun.Dan kebetulan sekali,dia saat ini sedang mengambil S2 tahun terakhirnya.
Saya bertanya padanya bagaimana guru-guru jepang bekerja.Apakah sama dengan guru-guru di Indonesia?apakah kinerjanya sama dengan kita-kita ini di Indonesia.Apakah bisa seenaknya meninggalkan sekolah saat jam belajar untuk berbelanja dan nongkrong di warung kopi?.Apakah bisa ini bisa itu,apakah,apakah,kemudian megapa,kok bisa begitu.Terus saja ia saya cecar dengan pertanyaan-pertanyaan bak bombardir tentara NATO atas Libya.Karena saya harus memuaskan keingintahuan saya atas diri mereka (guru) Jepang.Saya menjadi bak penari jaranan yang kesurupan,mulut terus meluncurkan pertanyaan laksana angin yang keluar dari ban bocor:juuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuus.
Setelah kuhentikan pertanyaanku,barulah ia mulai bercerita. Aku dengarkan dengan penuh hikmah.Kehikmatannya sama dengan saat aku mendengar penghulu nikah membacakan ijab qobul. Kuamati dan kucernah penjelasannya,kadang tangan ini dengan reflek yang cepat menyalinnya menjadi catatan-catatan di buku diari kecilku.yang kelak menjadi referensi yang sangat berharga dalam membunuh diriku dari kebodohanku selama ini.Sorot matanya kadang redup di tengah cerita-cerita tentang sosok guru jepang.Kadang wajahnya menjadi memerah penuh semangat tatkala harapannya menjadi lentera penerang jepang menyembul dari lubuk hatinya.Pekerjaan mulia yang sungguh telah ia laksanakan untuk memegang amanah mulia:menjadikan kita tahu.
Aku baruh ngeh jika sejatinya menjadi guru itu seharusnyalah seperti saudara kita di Jepang ini.Yang menggeluti profesi itu bak bermain dengan hobi-hobi kita. Yang menghabiskan waktu bersama pencerahan-pencerahan terhadap kebodohan dan kemiskinan intelektual.Totalitas dalam mengabdi pada ibadah dunia.Kadang terlintas juga guratan keletihan diwajah dan jiwa mereka,namun itu tidaklah menjadi alasan bagi mereka untuk mengendurkan otot-otot produktifitas dan kinerja mereka. Karena bagi mereka totalitas pengabdian itu adalah hiburan bagi keletihan hati dan jiwanya.
Saya menjadi sangat malu dibuatnya,sebagai seorang guru,belum pernah diri ini mengabdikan segenap keikhlasan dan ketulusan terhadap pendidikan.Dan saya semakin menjadi malu melihat diri ini yang mengukur keikhlasan itu dari berapa besar imbalan yang akan kita terima. Saya masih terlalu sering menjadikan itung-itungan materialistis sebagai konsideran utama dalam melakukan sesuatu. Apakah kegiatan yang akan kita jalanani mendatangkan manfaat secara ekonomis atau justru membuang-buang peluang kita untuk menambah pundi-pundi harta duniawi.Kadang kita menjadikan anak didik kita layaknya mesin dan robot untuk mendulang pundi-pundi. Saya semakin terguncang mendengar bahwa mereka (guru jepang) baru bisa pulang ke rumah jam 8-10 malam.
Kalau di Indonesia,setelah jam belajar habis,maka kita bisa pulang dan bersantai di rumah.Bahkan tidak jarang,selepas sekolah kita memiliki kerja sampingan:bisnis,kursus dan lainnya.Namun berbeda dengan saudara kita di Jepang,mereka harus menemani sang murid di club-club belajar yang ada di sekolah mereka sampai jam 5 sore. Setelahnya mereka kembali lagi ke sekolah menyiapkan RPP untuk hari esoknya.Hingga selesai.
Lagi-lagi saya menjadi malu pada mereka,gaji yang cukup besar tidak serta merta menjadikan kita lebih bersemangat dan giat memberikan pelayanan yang berkualitas,justru sebaliknya:menjadikan kita semakin tidak produktif.Lihatlah survey yang dilakukan Kemdiknas atas guru –guru yang bersertfikasi.Peningkatan kesejahteraan itu berbanding terbalik dengan kualitas layanan yang mereka berikan pada anak didik.Mengapa ya?jawabannya cukup sederhana,karena itulah enaknya menjadi guru di Indonesia!Tidak harus menyiapkan RPP, toh sudah ada yang menjualnya,Ga usah bingung-bingung mikirin kurikulum,toh sudah ada yang mengembangkannya,Ga usah berfikir bekerja dengan ikhlas, toh semuanya sekarang diukur dari materi atau untung rugi. Ga usah terlalu pusing dengan kualitas diri,toh sertifikasi telah menjadikan bukti bahwa tidak berkualitas itu tetap berharga sama dengan mereka yang berkualitas.ah,kalau demikian adanya,maka bersiap-siaplah kita menyongsong kematian sekolah. Itulah akhir dari sekolah:’The End Of Schooling’. Jangan kuatir, karena tulisan ini saya tujukan pada diri saya sendiri,agar saya cepat tersadar dari kemapanan-kemapanan yang hadir selama ini. Dan saya masih begitu yakin,masih banyak guru-guru yang bekerja laksana mentari,dan mereka adalah bagian penting negeri ini yang kadang terlupakan.Bahkan saking dianggap tidak berharganya merkea,kadang mereka tidak memperdulikan lagi besaran gaji yang ia terima,karena baginya adalah ibadah yang mendapat balasan dari rejeki Allah langsung. Betapa mulianya mereka,dan betapa hinanya diri ini yang berlimpah namun tidak seikhlas mereka. Semoga perjalananku ini bisa menghidupkan lentera dalam hati untuk terus mewakafkan diri pada pendidikan yang lebih baik. Ayo bangkit,ganbatte kudasai.
Sumber : http://theguru216.wordpress.com/2012/01/20/enaknya-menjadi-guru-di-indonesia/
Post a Comment for "ENAKNYA MENJADI GURU DI INDONESIA"